PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi membawa pengaruh besar terhadap dunia Islam terutama sesudah awal abad ke-19, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat akan membawa ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun telah memikirkan hal-hal tersebut.
Sama halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran, dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi modern. Dengan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan dapat melepaskan umat Islam dari ketertinggalan untuk dibawa kepada kemajuan.
Kata modernisasi dianggap mengandung arti negatif, di samping arti positif, maka untuk menjauhi arti-arti negatif itu, lebih baik kiranya dipakai terjemahan Indonesia, yaitu Pembaharuan.
Sebagaimana telah disebutkan, pembaharuan dalam Islam timbul di periode sejarah Islam yang disebut modern, dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebelum masuk ke dalam pokok masalah, diuraikan dahulu sejarah Islam secara ringkas, bukan hanya untuk mengetahui waktu mulainya periode itu, tetapi juga untuk melihat maju-mundurnya umat Islam yang terjadi dalam sejarah beserta tokoh-tokoh, dan pola pikirnya.
2.1 MASA KERUNTUHAN
elah lama kemurnian Islam tercemar oleh bidaah dan khurafat, oleh kebekuan dan kejumudan umatnya. Sejak kehancuran kuasa politik umat Islam di kawasan Lautan Mediteranean, tamadun Islam juga turut hancur. Pemikirannya juga turut tenggelam bersama ketenggelaman tamadunnya.
Pada masa kurun kegelapan ini, Al-Qur’an danAs-Sunnah, dua buah panduan peninggalan Rasulullah s.a.w. seperti yang dikatakan oleh Rasul yang utama itu, selama kedua-dua panduan itu dituruti oleh umat Islam, mereka tidak akan tersesat jalan, tidak lagi diikuti dengan saksama, tetapi masih lagi dibaca dan dinyanyikan.
Serentak dengan keruntuhan umat Islam ini, kuasa baru yang berasal dari Eropah muncul. Kuasa ini terdiri daripada manusia yang tamak akan harta dan kebesaran. Dengan peralatan sains yang diberikan oleh Islam kepada mereka, mereka merampas negeri-negeri Islam satu persatu, menghisap kekayaannya dan memiskinkan penduduk negeri yang mereka jajahi. Untuk mengamankan penjajahan ini, maka roh Islam mesti dihancurkan atau diselewengkan sehingga sumber kekuatan umat Islam selama ini tidak mampu lagi memberikan kekuatan dan wibawa kepada penganutnya. Untuk menjalankan maksud jahat ini mereka menjauhkan umat Islam itu daripada roh dan jiwa Islam yang sebenarnya, kepada orang Islam mereka memberikan kulit-kulit Islam yang tiada erti dan tidak bermakna. Umat Islam diyakinkan bahawa mereka mestilah menjadi makhluk yang lemah di dunia agar di akhirat mereka mendapat kekuatan. Mereka mestilah miskin dan menderita di dunia, agar mereka kelak di akhirat menjadi manusia kaya dan penuh dengan kenikmatan. Biarkan orang kafir itu menghabiskan harta kekayaan negeri kamu, kerana mereka itu kelak menjadi manusia yang menderita di dalam neraka. Dengan alat yang seperti itu mereka berleluasa menjajah negeri-negeri Islam yang memang sudah ditakdirkan Allah menjadi negeri-negeri yang penuh dengan bahan-bahan yang dapat memberi kenikmatan hidup kepada manusia.
Demikian suasananya selama berkurun-kurun. Umat Islam terhina dan papa. Bahkan juga mereka tidak memahami agamanya kerana diselimuti oleh kepalsuan dan kedustaan. Namun sejarah umat Islam tidak selamanya demikian.
“Dan hari-hari itu Kami pergantikan di antara manusia” (Q.3:140).
Firman Allah merupakan salah satu garis perjalanan sejarah manusia. Penggal akhir kurun ke-19 dan permulaan abad ke-20, banyak cetusan sejarah berlaku. Beransur-ansur matahari yang selama ini hanya menyinari bumi sebelah barat, sekarang mulai meninjau ke timur. Kesedaran umat Islam mulai bangun. Peringatan Allah menggema kembali:
“Jangan kamu jadi lemah dan jangan kamu bersedih;
kamu ialah manusia agung jika kamu beriman” (Q.3:139).
Maka terjadilah kebangunan baru. Kembali kepada kemurnian Islam. Dahulu, Islam telah membangunkan suatu umat yang jahil lagi terhina hingga menjadi umat yang memimpin tamadun makhluk manusia; mengapa sekarang tidak? Harga diri umat Islam mengorak semula. Mereka hendak kembali kepada Islam yang murni; bersih daripada bidaah dan khurafat; bersih daripada tahayul dan angan-angan; bersih daripada perkara-perkara yang diada-adakan oleh manusia.
- A. PERKEMBANGAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dalam garis besarnya, sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu klasik, pertengahan, dan modern. Periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman kemajuan, dan dibagi ke dalam dua fase.
Pertama, fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M). di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di barat, dan melalui Persia sampai ke India di timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damsyik, dan terakhir di Baghdad.
Di masa itu pula berkembang, dan memuncak ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama, maupun dalam bidang ekonomi, dan kebudayaan. Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali dalam bidang hukum (fiqih). Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Washil ibnu Atho’, Abu Al-Huzail dalam bidang Teologi. Zunun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustami, dan Al-Khallaj dalam bidang Tasawuf. Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Maskawaih dalam bidang Filsafat, selanjutnya Al-Khaitam, Ibnu Hayyan, Al-Kharizmi, dan Ar-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.
Kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M). Di masa ini keutuhan umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun, dan akhirnya Baghdad dapat dikuasai, dan dihancurkan oleh Hulagu Khan di tahun 1251 M. khalifah sebagai lambang kesatuan politik umat Islam hilang.
Periode Pertengahan (1250-1500 M) dapat dibagi ke dalam dua fase.
Pertama, fase kemunduran (1250-1500 M). di zaman ini desentralisasi, dan disintegrasi meningkat dengan pelan, namun pasti. Beberapa wilayah memisahkan diri dari kekuasaan pusat.
Perbedaan antara Suni, dan Syi’ah, demikian juga antara Arab, dan Persia mulai dimunculkan kembali, dan bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, yaitu bagian Arab yang terdiri atas Arab Saudi, Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat, dan bagian Persia yang terdiri dari Balkan, Asia Kecil, dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Kebudayaan Persia mengambil bentuk Internasional, dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab untuk menutup pintu Ijtihad. Demikian juga Tarekat dengan pengaruh negatifnya, sehingga perhatian terhadap ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.
Kedua, fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M), dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Ketiga kerajaan besar ini mempunyai kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur, dan arsitek. Masjid-masjid, dan gedung-gedung indah yang didirikan pada zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, Tibri, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran, dan di Delhi. Di zaman kemunduran, kerajaan Usmani terpukul di Eropa. Kerajaan Syafawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan. Sedangkan daerah kekuasan Kerajaan Mughal diperkecil oleh penguasa raja-raja India. Kekuatan militer, dan kekuatan politik umat Islam menurun. Umat Islam dalam keadaan mundur, dan statis, sehingga pada masa itu Eropa dengan kekayaan-kekayaan yang diangkut dari Amerika, dan Timur jauh bertambah, kaya, dan maju.
Penetrasi barat yang kekuatannya meningkat ke dunia Islam yang berkekuatan menurun kian mendalam, dan meluas. Akhirnya Napoleon di tahun 1768 M menduduki Mesir sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting.
Periode modern (1800 M, dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya, dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi, yang merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja, dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu, dan kekuatan umat Islam kembali. Di periode modern inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam.
B. Tokoh – Tokoh Pembaharuan Dalam Pemikiran Islam
Tokoh – tokoh Pembaharuan dalam pemikiran ini adalah :
1) Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703 – 1778)
Gerakan pembaharuan Islam (modernisme) diawali oleh gerakan pemurnian Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703 – 1778). Pokok ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabi) adalah menentang semua bentuk bid’ah dan khurafat serta kembali kepada ajaran pokok Al-Qur’an dan Hadits.
Paham yang dikembangkan ini bertambah kuat setelah mendapat dukungan Muhammad Ibnu Sa’ud (pendiri kerajaan Saudi Arabia) dan putranya Abdul Aziz. Faham Wahabi ini wajib diajarkan di madrasah – madrasah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi di negara Saudi Arabia sampai saat ini. Pemikiran Wahabi mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan Islam abad 19 dan 20.
KEBANGUNAN PERJUANGAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Jauh pada masa silam pada abad ke-14 M, seorang ulama daripada mazhab Hanbali di Damsyik bernama Taqiyyuddin Abul-Abbas Ahmad ibn Abdul-Halim ibn Abdus’-Salam ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Taymiyyah al-Harrani al-Hanbali (1263-1328 M), biasa disebut Ibn Taymiyyah melakukan tentangan yang hebat terhadap sufisme dan segala yang bidaah (mengada-adakan dalam agama) yang banyak dilakukan oleh umat Islam pada masa itu. Beliau menentang taklid secara membuta-tuli, yakni mengikut saja sesuatu yang dikatakan orang tanpa mengetahui dalilnya. Juga beliau menafikan berlakunya ijmak secara hakiki selepas zaman sahabat yang dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam, yang berupa kesepakatan semua mujtahid dalam kalangan umat Islam pada suatu masa sesudah kewafatan Rasulullah S.A.W. atas sesuatu hukum syarak berkenaan dengan sesuatu kes.
Mengikut mazhab Hanbali, ijmak hakiki hanya mungkin berlaku pada zaman Sahabat Nabi, iaitu pada masa mujtahid Islam tinggal di daerah yang belum begitu luas, seperti keluasan wilayah negara Islam pada kemudian hari.
Diriwayatkan bahawa Imam Ahmad ibn Hanbal, pengasas mazhab Hanbali, pernah mengatakan bahawa orang yang ada ijmak adalah dusta; mengatakan sesiapa yang mendakwa ada ijmak dia itu pendusta; boleh jadi manusia berselisih pendapat-yang ia tidak ketahui-dan tidak sampai kepadanya; sepatutnya ia mengatakan: Kami tidak ketahui ada orang yang berlainan pendapat (Khallaf: 49).
Pada zaman kawasan umat Islam itu telah begitu meluas dan bahkan tersebar di seluruh dunia kita tidak mungkin mengetahui adanya ijmak. Sebab keputusan para ulama di suatu negeri belum tentu disetujui oleh para ulama di negeri lain.
Ibnu Taymiyyah hanya mengemukakan Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadist) sebagai sumber Islam yang mesti dituruti. Segala yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan al-Hadist dipandangnya bidaah yang mesti dibasmi. Pendapat Imam Ghazali dalam beberapa masalah pun dibantahnya. Memuliakan kuburan para wali dan orang keramat yang banyak dilakukan orang pada masa itu ditentangnya dengan bersungguh-sungguh. Meminta kepada Allah dengan perantaraan arwah para wali dan orang keramat yang sudah mati dipandangnya sebagai perbuatan syirik, menyekutukan Allah. Ibn Taymiyyah dengan kerasnya membasmi perbuatan syirik semacam itu. Pendapat Ibn Taymiyyah didokong oleh muridnya Ibn al-Qaiyyim al-Jawziyah. Kemudian pada abad ke-18 di Tanah Arab muncul pula seorang ulama yang mengikuti garis berfikir Ibn Taymiyyah yang bernama Muhammad ibn Abdi’l-Wahab (1703-1787 M). Beliau berjuang membersihkan negerinya daripada segala perbuatan bidaah dan khurafat yang banyak mempengaruhi kaum muslimin di sekitarnya. Gerakan dan fahaman inilah kemudiannya dinamai orang aliran Wahabi, sempena nama pengasasnya, Muhammad ibn Abdi’l-Wahab.
Dari tempat yang terpisah-Arabia Tengah-daripada pergaulan bangsa-bangsa lainnya ia memulakan kempen menghapuskan bidaah. Dengan bantuan keluarga Saud yang berkuasa di Najed ajaran ini berkembang. Kuburan keramat disamaratakan. Perbuatan yang dulunya dipandang makruh yang menurut pendapat mereka haram seperti menghisap rokok dan perbuatan yang selama ini dikerjakan oleh kaum muslimin tetapi tidak pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w. dibasminya dengan kuasa pemerintah. Mereka yang memeranginya diperangi. Mereka percaya bahawa penentang-penentang ini ialah orang yang menderhaka kepada Allah. Lagi pula “membasmi kemungkaran dengan tangan” adalah perkara yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. Di dalam peperangan dengan pihak lawan, kadang-kadang mereka menang dan kadang-kadang pula kalah.
Pada permulaan gerakan Muhammad bin Abdul Wahab bertindak banyak tentangan daripada berbagai-bagai golongan umat Islam, banyak orang yang tidak setuju atas pendiriannya yang tidak mengenal kompromi dengan bidaah. Lebih-lebih lagi pihak penjajah Barat berusaha menghasut umat Islam supaya menentang gerakan ini, kononnya mereka telah terkeluar daripada Islam, Mereka menakut-nakutkan tokoh-tokoh Islam akan bahaya gerakan ini. Sebenarnya merekalah yang takut akan gerakan ini, sebab salah satu matlamat perjuangannya menghancurkan kuasa “kafir” terhadap umat Islam.
Namun lambat-laun, kadang-kadang setelah perjuangan ini dapat difahami dengan baik maka fahaman ini dapat diterima di berbagai-bagai kawasan Islam. Bukan hanya di Tanah Arab, tetapi di kawasan lainnya juga. Biasanya fahaman ini menimbulkan gerakan yang lebih agresif menentang pemerintahan yang menurut mereka berbuat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demikianlah fahaman ini menjadi pendorong kepada berbagai-bagai gerakan di India pada permulaan abad ke-19 menentang pemerintahan kesultanan Mughal yang kolot, pemerintahan Sikh dan Inggeris yang dipimpin oleh Syariatullah dan beberapa tokoh lainnya.
Pada pertengahan sampai penghujung abad ke-19 fahaman ini menjadi daya penggerak bagi gerakan yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad ibn Ali al-Sanusi di Cirenaica. Al-Sanusi mendirikan suatu kerajaan Islam di seluruh Libya sebagai protes terhadap kerajaan Uthmaniah yang telah jauh menyimpang daripada ajaran Islam yang sebenarnya.
Gerakan al-Mahdi muncul pula di sebelah timur Sudan yang memberontak terhadap pemerintahan Turki-Mesir, yang juga dipandang pemerintahan yang sudah jauh menyimpang daripada ajaran Nabi s.a.w. yang sebenarnya.
Gerakan seperti ini juga muncul di Nusantara terutama diwakili oleh golongan Pidari (Padri) di Sumatera Barat (tanah Minangkabau). Gerakan ini dimulai ketika tiga orang tokoh kembali dari Tanah Suci: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka mengembangkan dan menyebarkan fahaman ini di daerah masing-masing. Mereka berjuang membasmi bahagian adat Minangkabau yang bertentangan dengan hukum Islam, serta bermaksud menghapuskan kebiasaan yang dilarang oleh Islam, seperti meminum tuak, menghisap madat, menyabung ayam, berjudi, merokok (ulama Hanbali di Hijaz menfatwakan bahawa merokok hukumnya haram), dan memotong gigi. Kaum wanita dimestikan menutup seluruh bahagian tubuh, dan lelaki dimestikan memelihara janggut (mengikut pendapat ulama Hanbali memelihara janggut bagi lelaki adalah wajib), dan memakai serban. Golongan Pidari ini membiasakan diri memakai pakaian putih; kerana itu mereka disebut juga “Kaum Putih”.
Pada mulanya usaha pembasmian dilakukan dengan cara damai. Lambat-laun beralih kepada memestikan. Pengikutnya pun semakin bertambah banyak juga terutama di wilayah Agam.
Pemimpin yang mula-mula menganjurkan polisi keras ialah Tuanku Nan Renceh, yang kemudian diikuti oleh tujuh orang “tuanku” lainnya. Di setiap kampung yang dapat mereka kuasai, mereka melantik seorang “Tuanku Imam” dan seorang “Tuanku Khalifah” yang diserahkan tugas menjalankan syariat Islam. Orang yang lalai melakukan salat didenda lima suku (satu suku ialah lebih kurang 50 sen). Akan tetapi jika pelalaian itu dilakukan terus-menerus, orang itu dihukum mati. Orang yang menjual tembakau atau rokok didenda lima suku. Dan orang yang berpakaian dengan tidak menurut aturan agama didenda dua suku. Demikian seterusnya, mereka menjaga agar syariat Islam itu ditaati.
Dari Alahan Panjang gerakan pidari dikembangkan oleh Datuk Bandaharo dan Malim Basa. Di bawah pimpinan Malim Basa, kaum Pidari mendirikan kampung Bonjol. Kampung ini dijadikan pusat kekuatan Pidari yang diperintah oleh empat orang pemimpin yang disebut “Barampek Silo” atau “Raja Nan Ampek”. Salah seorang daripada Raja Nan Ampek itu ialah Malim Basa sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Dari Bonjol kaum pidari meneruskan penguasaan pentadbirannya ke daerah-daerah lainnya. Pidari muncul sebagai suatu kuasa politik yang kuat yang berkonfrontasi dengan penjajahan Belanda.
Pada suatu ketika seorang pemimpin Pidari, Tuanku Pasaman, juga disebut Tuanku Lintau, mengundang kaum bangsawan Minangkabau untuk membicarakan soal-soal agama di Koto Tangah. Dalam pertemuan ini setelah jamuan selesai, para pembesar Minangkabau itu dibunuh, kerana mereka dituduh sebagai pengkhianat terhadap agama dan rakyat, sebab mereka berbaik-baik dengan penjajah asing yang kafir. Hanya seorang kerabat diraja bersama seorang cucunya yang sempat menyelamatkan diri dan lari ke Kuantan, Riau (Sumatera). Menghadapi kenyataan ini, golongan yang kuat berpegang kepada adat dan kurang kepada agama yang diwakili oleh Tuanku Suroaso pergi ke Padang meminta bantuan Belanda (10 Februari 1821 M). Hal ini adalah satu peluang yang baik bagi Belanda. Mereka mempunyai peluang untuk meningkatkan kempen antiPidari. Belanda mula menyerang secara ketenteraan kedudukan kaum Pidari dan dengan demikian bermulalah Perang Pidari (1822 M).
Demikianlah perang Pidari berlangsung dengan hebat antara kedua-dua belah pihak, dengan mengambil korban yang besar pada kedua-dua belah pihaknya, harta benda dan nyawa. Dengan bersusah-payah dan dengan korban yang besar, Belanda akhirnya menguasai Bonjol, iaitu pusat kekuatan kaum Pidari. Pada 28 Oktober 1837 M Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda. Belanda lantas membawa pahlawan itu ke Jakarta. Dari sana ia dibuang ke Cianjur (Jawa barat) kemudian ke Ambon. Dari Ambon dipindahkan lagi ke Sulawesi Utara. Dan di sanalah, di kampung Lutuk Pahlawan itu berpulang ke alam baqa pada 6 November 1864 M. Republik Indonesia telah melantiknya sebagai Pahlawan Nasional.
Di Tambuse (Tembusai), wilayah Rokan, timbul pula perlawanan yang dipimpin oleh Pakih Saleh atau Tuanku Tambuse, seorang yang kuat berpegang kepada ajaran Muhammad bin Abdul Wahab oleh serangan Belanda yang kuat, Tuanku Tambuse mengundurkan diri ke Padang Lawas (Tapanuli Selatan). Selepas itu tidak terdengar beritanya lagi. Akhirnya nasib Tuanku Tambuse tidak diketahui.
Satu babak daripada sejarah fahaman ini di Nusantara telah selesai, iaitu dari segi perjuangan bersenjata. Namun dari segi dakwah dan pengajarannya tidak mati. Meskipun di Minangkabau tidak terdengar lagi kewujudan fahaman itu, namun di sana sini di luar wilayah itu ia tumbuh sebagai fahaman keagamaan. Para pengikut pidari yang tidak tertangkap mencari tempat baru di seluruh kepulauan Melayu untuk meneruskan pengembangan fahamannya, sebahagian mereka ada juga yang mendarat di Semenanjung Tanah Melayu. Di sana sini mereka membuka pengajian. Dan di sana sini pula ajaran mereka ini kadang-kadang berbenturan dengan “ajaran Islam” yang ada pada ketika itu. Kuasa politik mereka telah hancur, namun sebagai pembaharuan agama ia terus berjalan.
Perkembangan Islam di Minangkabau memang menduduki tempat yang unik. Di samping kekukuhan Islam di bumi ini, ia juga memainkan peranan penting dalam dakwah Islamiah di bumi Nusantara ini. Meskipun Islam berakar-umbi dengan teguhnya di bumi Minangkabau, adat lama yang berdasarkan sistem perkerabatan yang unilateral-matrilineal (satu pihak mengikuti garis ibu) masih tetap bertahan. Kelompok yang melampau daripada pendukung adat lama inilah pula yang dengan keras menentang perubahan yang dibuat oleh kaum Pidari. Dan peluang ini digunakan oleh penjajah Belanda untuk mencekamkan kukunya di Minangkabau (Sumatera Barat). Dalam beberapa perkara, adat lama “nan tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas” bertolak belakang dengan undang-undang Islam. Sistem kekeluargaan yang unilateral-matrilineal itu sudah tentu bertentangan dengan sistem kekeluargaan Islam yang bilateral-parental (dua pihak; keibubapakan) itu. Harta yang diturunkan kepada kemanakan sudah tentu berlawanan dengan penurunan harta kepada anak di dalam hukum Islam. Tanggungjawab mamak untuk kemanakannya sudah tentu tidak sejalan dengan tanggungjawab ayah kepada anak mengikut hukum Islam. Lebih-lebih lagi perkara yang nyata haramnya di dalam hukum Islam, menjadi amalan sehari-hari masyarakat pada masa praPidari, seperti menyabung ayam dan berjudi.
Walau bagaimanapun, peranan orang Minangkabau dalam penyebaran dakwah Islamiah di Nusantara amat ketara. Guru-guru agama yang berasal dari Minangkabau bertebaran di seluruh Nusantara.
Selain itu, Tanah Minangkabau merupakan salah satu pusat pembaharuan Islam yang penting di Kepulauan Melayu ini. Selepas Perang Pidari, gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau tidak terhenti. Seruan tajdid dari Timur Tengah terus bergema dan digemakan. Nama-nama seperti Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah), Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Syeikh Abdullah Ahmad, dan Syeikh Tahir Jalaluddin ialah tokoh-tokoh yang lantang mendakwah ke arah pembaharuan. Nama yang terakhir ini ialah tokoh tajdid yang terkenal di Semenanjung Tanah Melayu. Allahyarham HAMKA juga seorang tokoh pembaharuan yang berasal dari Minangkabau. Muhammad Natsir, bekas Ketua Masyumi dan Ketua Dewan Dakwah Indonesia juga keturunan Minangkabau.
Walau bagaimanapun, Kaum Tua tidak pernah mengalah di Minangkabau. Di samping Muhammadiah yang berkembang pesat dan pusat-pusat pengajian lain yang berdasarkan pembaharuan, golongan Syafiiyah masih lagi bertahan dengan gigih. Persatuan Tarbiah Islamiah (PERTI) mempunyai pengikut yang agak ramai. Salah seorang tokoh masa kini pertubuhan itu ialah Haji Sirajuddin Abbas. Buku-bukunya banyak tersebar di Indonesia dan Malaysia. Sayangnya menurut penilaian orang ramai di bawah pentadbiran Sukarno, beliau bekerjasama dengan tokoh-tokoh komunis. Dengan kejatuhan Sukarno, pengaruhnya tergencat.
Nyak Diwan, seorang tokoh politik PERTI yang berasal dari pantai Barat Aceh dalam satu perbualan dengan O. K. Rahmat di Bandung, Indonesia (1963) mengatakan bahawa “bagi PERTI bermazhab Syafii adalah mutlak”.
Di Tanah Arab sendiri, fahaman Muhammad bin Abdul Wahab terus menerus meluaskan daerah pengaruhnya. Keluarga Saudi yang tadinya berkuasa di Najed dan beberapa kali meluaskan wilayah kekuasaannya, pada tahun 1925 M menakluki seluruh Jazirah Arab kecuali Yaman dan beberapa daerah perlindungan Inggeris di bahagian selatan (dewasa ini termasuk ke dalam wilayah Yaman Selatan). Tetapi setelah raja Saudi mempunyai kekuasaan yang demikian luas dan setelah banyak mengadakan hubungan dengan dunia luar, tindakannya yang keras menentang bidaah mulai agak lunak.
Sekarang ini kerajaan Saudi tanpa segan meskipun masih berhati-hati-menerima pengaruh Barat, yang dulunya sangat ditentang oleh kaum generasi pertamanya. Dengan bantuan kekayaan minyaknya sekarang ini berlaku dengan pesatnya proses modenisasi di dalam teknologi, pendidikan, budaya, ekonomi dan sebagainya di dalam negara Saudi Arabia itu. Pendekatan yang digunakan sekarang agaknya sedang mendapat tafsiran baru.
Betapa semakin melemahnya (suruhan berbuat baik dan tegahan daripada berbuat jahat) terasa didalam Read the rest of this entry »